Impian untuk bisa terus berkarya seakan meredup, diganti dengan bayangan sibuknya mengurus rumah. Inilah yang disebut “dilema produktivitas”. Bagi mahasiswi muslimah tadi, dilema ini bisa timbul waktu ditanya kapan akan menikah? Maka jawabnya ”Nanti sajalah! bekerja dulu”. Bagi ibu rumah tangga dan daiyah tadi bisa timbul rasa bimbang dan guilty feeling saat memilih "Saya akan tetap beraktivitas di luar atau di rumah saja? Kalau sibuk beraktivitas di luar, nanti keluarga terabaikan. Namun, jika hanya menjadi FTM (full-time mother), lama-lama akan bosan. Jadi bagaimana sih menyikapinya?"
Sebenarnya mana yang lebih produktif antara melulu mengurus keluarga atau bekerja atau beraktivitas sosial? Untuk bisa menjawabnya kita perlu memahami, apa sih produktivitas itu dan bagaimana penerapannya secara Islami. Produktivitas secara umum adalah suatu perbandingan antara kuantitas dan kualitas kinerja seseorang pada saat ini dengan upaya (amal perbuatan) yang sudah dilakukan seiring dengan berjalannya waktu. Konsep produktivitas ini perlu diterapkan secara Islami yaitu dengan menggabungkan nilai amaliyah di dunia dan visi ke-ukhrawi-an (akhirat). Konsep ini tentunya jauh lebih komprehensif dibandingkan konteks ekonomi yang hanya dikaitkan dengan materi atau uang. Islam memandang bahwa nilai dan kualitas amal perbuatan seseorang ditentukan berdasarkan keikhlasan niatnya dalam beribadah, misalnya niat ikhlas bersedekah lebih penting daripada berapa jumlahnya. Islam juga mendahulukan terpenuhinya ibadah wajib daripada jumlah ibadah sunnah yang dilakukan.
Jadi jelaslah, pengertian muslimah produktif bukan membanding-bandingkan antara yang bekerja, yang aktivis kegiatan sosial, dan yang di rumah saja. Namun muslimah produktif itu harus dipahami sebagai sosok yang berupaya memanfaatkan waktu yang tersedia untuk mencapai tingkatan kualitas (standar) seorang muslimah yang ideal, yaitu yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits. Secara ringkas, muslimah produktif dipengaruhi tiga unsur penting yaitu kualitas, upaya, dan waktu.
***
Sesuatu itu disebut berkualitas bila telah memenuhi standar ideal sesuai dengan peran yang dimiliki. Muslimah berkualitas yang bisa dijadikan panutan atau idola adalah para istri Rasulullah SAW, para sahabiyah, dan para mukminat lainnya. Kisah-kisah mereka menyiratkan peran penting muslimah dalam semua aspek kehidupan, baik sebagai dirinya sendiri, anak, istri, ibu, dan anggota masyarakat.
Figur muslimah ideal digambarkan oleh Rasulullah SAW yaitu: “Sebaik-baik istri kalian adalah wanita yang apabila dipandang menyenangkan hati suaminya, apabila disuruh tidak membantah, dan apabila ditinggal pergi setia menjaga dirinya dan harta suaminya.” (HR. Imam an-Nasa`i); “Sebaik-baik istri kalian adalah yang banyak melahirkan anak dan penuh cinta kasih” (HR. Imam al-Baihaqi). Hadits ini merupakan penerapan dari firman Allah SWT dalam QS. An Nisaa' : 34 “..wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)...” Jangan salah lho, kriteria ideal ini juga berlaku bagi yang masih single, karena merupakan pandangan ke depan atau cita-cita yang Insya Allah akan dapat terwujud.
Keadaan ideal hanya menjadi angan-angan jika tidak ada upaya untuk mencapainya. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah aktivitas berbasis di rumah (home-based activities). Dalilnya adalah QS. Al Ahzab: 33: “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu”. Kegiatan berbasis di rumah dapat berupa aktivitas sosial/dakwah atau wirausaha, misalnya menulis buku/artikel di media atau skenario acara televisi dan radio, mendesain situs atau mengelola jasa marketing melalui internet, mendesain arsitektur rumah, agen penjualan tiket, membuka butik/salon muslimah atau toko, penitipan anak, dan les privat.
Dengan lebih banyak di rumah, muslimah bisa lebih mudah menjalankan kewajiban yang harus diprioritaskan yaitu terhadap Allah SWT, diri sendiri, dan keluarga. Kewajiban terhadap Allah SWT yaitu melakukan ibadah wajib dan sunat. Kewajiban terhadap diri sendiri yaitu memelihara fisik, perasaan, pikiran, moral, dan tingkah laku secara seimbang. Kewajiban terhadap orang tua yaitu merawat dan menghormatinya, serta mengajaknya ke jalan yang benar dengan sopan dan bijak jika mereka khilaf. Kewajiban terhadap suami yaitu membantunya dalam menjalankan perintah agama, mensyukuri rizqi yang diperolehnya, dan jika diperlukan turut membantu mencari rizqi yang halal. Kewajiban terhadap anak yaitu mengasuh dan mendidiknya agar taat pada perintah dan larangan-Nya, serta taat pada kedua orang tua.
Jika semua kewajiban itu telah dipenuhi, barulah muslimah dapat berkontribusi terhadap masyarakat, melalui aktivitas sosial/dakwah atau bekerja secara profesional.
Selain itu bagi muslimah yang aktif di luar perlu memenuhi tata cara pergaulan yang Islami yaitu mendapat ijin orang tua/ suami, menjaga pandangannya, menghindari hal-hal yang bersifat jahiliyyah seperti ikhtilath (berbaur antara lelaki dan perempuan secara bebas tanpa batas adab/kesopanan), membuka aurat, tabarruj (memamerkan perhiasan/kecantikan), melembutkan/mendesahkan suara, dan khalwat (berduaan dengan lelaki) yang bisa menimbulkan fitnah. Muslimah juga perlu menjaga kebersihan aqidah dan tauhid dari pengaruh non-Islam secara langsung maupun melalui media informasi/telekomunikasi.
***
Waktu terus bergerak maju. Dalam QS. Al `Ashr dikatakan bahwa kita disebut „rugi“ jika tidak mengisi waktu dengan empat upaya yaitu (1) berusaha meningkatkan keimanan, (2) melakukan amal shalih, (3) nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan (4) supaya menetapi kesabaran. Istilah ”rugi” ini identik dengan ”tidak produktif”. Jadi muslimah disebut produktif bukan pada saat kondisi ideal telah tercapai, tapi pada waktu telah mampu mengelola waktu dalam mencapai profil ideal.
Sebagai manusia, muslimah pun mempunyai banyak keterbatasan. Namun tetaplah produktif di manapun, kapanpun, dan sekecil apapun perannya. Aktivitas berbasis di rumah justru membuat muslimah lebih produktif. Langkah demi langkah dijalani dengan selalu bersyukur, dan jika belum berhasil tetap bersabar sebab rencana-Nya pasti jauh lebih baik. Sabda Rasulullah SAW, amalan yang paling dicintai oleh Allah SWT adalah "yang dilakukan secara terus menerus, walaupun sedikit".
Pada akhirnya kita sadar bahwa semua unsur produktivitas itu akan dimintai pertanggung-jawaban di akhirat kelak. Allah SWT. berfirman, "Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka'' (QS Al Ghaasyiyah: 25-26). Untuk itu kita perlu ingat pesan Umar bin Khattab ra. ''Hisablah diri kamu sekalian sebelum dihisab oleh Allah. Dan berhias dirilah (dengan amal) untuk menghadapi ujian terbesar. Sesungguhnya, penghisaban di hari kiamat itu hanya akan terasa ringan bagi orang yang terbiasa menghisab dirinya di dunia.''
Wallahu`alam bishshowab.
Vita Sarasi, ibu dua anak
Semoga kita semua dapat menjadi muslimah yang produktif bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Amin.
Menurut lembaga pengkajian strategis di Amerika, para wanita mulai kelelahan bekerja di luar, dan 65% dari mereka lebih mengutamakan untuk kembali ke rumah, mengurus keluarga sesuai dengan fitrahnya. Seorang filosof bidang ekonomi, Joel Simon berkata, “Mereka (para wanita) telah direkrut oleh pemerintah untuk bekerja di pabrik-pabrik dan mendapatkan sejumlah uang sebagai imbalannya, akan tetapi hal itu harus mereka bayar mahal, yaitu dengan rontoknya sendi-sendi rumah tangga mereka”. Sementara itu penelitian lain di Amerika tahun 1997: terdapat 300.000 wanita memulai home based bussiness setiap tahunnya. Lebih dari 8 juta wanita memiliki omzet sekitar 2,3 trilyun dollar AS per tahun. Alternatif home based business ini dimana definisinya adalah bisnis yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, jenis dan ukuran selama kantornya berada di rumah, ternyata sesuai dengan apa yang dianjurkan dalam QS Al Ahzab 33, yaitu supaya wanita lebih banyak beraktivitas di rumah.
Sumber : http://vitasarasi.multiply.com/journal/item/41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar