Suatu hari ada tamu asal Jawa Tengah. Di tengah-tengah obrolan, sang tamu memberikan sebuah tips agar mudah mendapat pinjaman uang untuk modal usaha.
“Jadi caranya begini, kamu harus mencari kepercayaan orang terdahulu. Mula-mula, kamu coba pinjam uang, dan simpan uang tersebut hingga tiba waktu untuk mengembalikannya. Setelah itu, serahkanlah uang tersebut pada si empunya. Lakukanlah hal demikian hingga beberapa kali. Dengan trik tersebut, kamu telah membangun stigma baik dirimu terhadapnya,” ujar si tamu. “Hasilnya, ketika suatu hari kamu benar-benar butuh uang untuk modal usaha, maka dengan lapang dada ia akan meminjamimu modal, tanpa banyak tanya. Dan itu terjadi, karena kamu telah mampu membangun kepercayaan kepadanya.”
Bila kita perhatikan, realitas gaya hidup masyarakat saat ini, tidak sedikit dari mereka yang menjadikan utang bagian dari hidup mereka. Parahnya lagi, para pemodal sepertinya memanfaatkan situasi ini. Sekedar untuk memberikan contoh kecil, coba kita perhatikan brosur-brosur, iklan-iklan di media massa yang memasarkan produknya dengan sistem kredit. Cukup membayar uang yang tidak terlalu besar, mereka bisa membawa barang yang diinginkan, sepeda motor, misalnya. Kemudian, untuk pembayaran selanjutnya, akan dicicil setiap bulan dengan besar dana yang telah ditentukan. Gayung bersambut, tidak sedikit dari masyarakat kita yang tertarik dengan tawaran ini. Maka, jadilah mereka memiliki utang yang dibalut dengan nama kredit.
Pada dasarnya utang-piutang bukanlah sesuatu yang diharamkan dalam Islam. Namun, bukan berarti umat Islam diperkenankan untuk membudayakannya hal ini dalam konsep kehidupan mereka. Rasulullah sendiri, seringkali berlindung dalam do’anya agar supaya dihindarkan dari utang. Ini menunjukkan, kalau beliau sejatinya tidak berkenan dililit utang.
Simaklah hadits dari Urwah berikut ini, bahwa ‘Aisyah ra. memberitahunya bahwa Rasulullah saw. selalu berdo’a dalam shalatnya: ”Ya Allah, aku berlindung padamu dari dosa dan utang”. Lalu ada orang yang berkata kepada beliau,”berapa sering engkau wahai Rasulullah berdo’a berlindung (kepada Allah) dari utang?” beliau menjawab,”sesungguhnya seseorang itu jika berutang, dia berbicara lalu berdusta, dia berjanji lalu mengingkari.” (HR. Bukhari)
Lihatlah Rasulullah, betapa beliau sangat mewaspada diri terhadap utang, sekalipun ia (utang) termasuk perkara yang dihalalkan. Kenapa demikian? Karena memang utang itu bisa membuat seseorang gelisah, tidak tenang dalam menjalani kehidupan.
Ketika datang malam, si pengutang akan senantiasa memikirkan beban utang yang melilitnya, sehingga membuat dirinya tidak nyaman untuk istirahat. Belum lagi kalau sudah jatuh tempo, dan di kantong, sepeser uang pun tidak ada, kecemasannya akan semakin meninggi.
Ketika malam berganti siang, “volume” cemasnya akan tambah meningkat, sebab ia khawatir, kalau-kalau yang meminjaminya uang datang ke rumah, dan menagih utang. Karena itu, sebisa mungkin ia akan menghindari untuk bertatap muka dengan si pemodal.
Adakah orang yang merasa tenang/tentram kehidupannya dengan kondisi demikian ini? Tentu tidak akan ia dapati. Penjelasan ini, sejalan dengan sabda Rasulullah dalam sebuah riwayat, “Hammun billaili wa madzallatun binnahaari” (utang itu membuat sedih di malam hari dan hina di siang hari).
Selain kondisi demikian ini, utang sangat memicu seseorang untuk berbuat dusta dan mengingkari janji, sebagaimana yang tercantum dalam hadits di atas (sesungguhnya seseorang itu jika berutang, dia berbicara lalu berdusta, dia berjanji lalu mengingkari). Padahal, sebagaimana yang telah diketahui bahwa dua perkara ini termasuk tiga dari ciri-ciri orang munafik. Rasulullah bersabda, “Ciri-ciri orang munafik itu ada tiga, apa bila dia berbicara berdusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila diberi amanah, dia bekhianat.” (Al-Hadits).
Selanjutnya, resiko buruk bagi orang yang berutang yang tidak bisa melunasi utang-utangnya hingga ia meninggal, adalah ia terhalang untuk memasuki surga, sekalipun ia mati dalam keadaan syahid. Sabda Rasulullah, “Semua dosa itu diampuni bagi orang yang mati syahid kecuali utang.” Dalam riwayat lain, “Mati di jalan Allah itu menebus segala sesuatu (dosa-dosa) selain utang.” (HR. Muslim).
Demikianlah di antara dampak-dampak buruk yang bisa menimpa kita di kemudian hari, apa bila kita memiliki beban utang pada orang lain. Tidak hanya wibawa kita di dunia yang bisa runtuh, nasib kita di akhirat, pun tergantung padanya.
Melihat begitu besarnya resiko utang, seyogyanya kita menghindarinya. Jangan sampai, karena hanya untuk memenuhi hawa nafsu yang menginginkan ini dan itu, ia (hawa nafsu) senantiasa kita turutkan, sekalipun dengan jalur utang. Akan tetapi, sekiranya kita dalam kondisi genting, dan seluruh alternatif tidak mampu mengeluarkan kita dari permasalahan tersebut, kecuali dengan berutang, maka, apa boleh buat, kita pun harus pinjam uang. Dan untuk mencegah hal-hal buruk yang telah dipaparkan di atas, berikut adalah etika-etika dalam berutang:
1. Menghindari Utang Sebisa Mungkin
Bagaimana pun besar manfaat utang, tetaplah ia berposisi sebagai beban kehidupan, yang secara langsung akan mengganggu ketenangan hidup kita, ataupun keluarga kita. Mencari solusi lain sebelum berutang, tentulah perkara yang jauh lebih bijak.
Dan termasuk dari gaya hidup yang kurang dibenarkan, kalau ada seseorang (muslim) mencari kenikmatan, kemewahan hidup dengan cara berutang, sebagaimana yang terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini.
2. Berniat Untuk Melunasi
“Setiap perkara itu tergantung pada niatnya”. Demikianlah penjelasan Rasulullah dalam sebuah riwayat yang menganjurkan kita untuk senantiasa menjaga/meluruskan niat setiap kali melakukan kegiatan/aktivitas. Begitu pula dalam hal berutang. Berniat untuk melunasnya dengan sungguh-sungguh, merupakan suatu keharusan bagi siapa yang hendak berutang. Dan termasuk orang yang berkhianatlah, apa bila ada seseorang yang meminjam uang, tapi dalam lubuk hatinya sudah tertancap niat untuk tidak mengembalikan uang tersebut.
Selain itu, niat untuk membayar utang, juga akan mengundang keterlibatan Allah dalam melunasi utang tersebut. Begitu pula sebaliknya, apa bila ada yang berazam untuk tidak melunasi utang tersebut, maka ancaman Allah akan kebinasaan bagi dirinya.
Dari Abi Hurairah. Dari Nabi Shollallahu ’alaihi wasaallama bersabda, ”Barangsiapa mengambil (berutang) orang sedang dia berniat untuk melunasinya, niscaya Allah akan (membantu) melunasi bagi pihaknya. Dan barangsiapa mengambilnya (mengutangnya) dengan niat merusaknya (mengemplangnya), niscaya Allah akan membinasakannya.” (HR. Al-Bukhari)
3. Mencatat Utang Piutang
Tidak dipungkiri, kebanyakan orang yang lalai membayar utang, karena dilandasi dasar lupa. Untuk mencegah hal tersebut, maka proses catat-mencatat utang-piutang sangat dianjurkan. Dan ini sesuai dengan apa yang dituntunkan dalam Al-Quran, surat Al-Baqoroh, 282, yang membahas secara terperinci tentang utang-piutang.
4. Hadirnya Dua Saksi
Untuk mempertegas akan kebenaran transaksi utang-piutang antardua orang atau lebih, selain menggunakan proses catat-mencatat antar yang meminjam dan yang meminjami, akan lebih baik bagi mereka apabila menghadirkan dua saksi yang menjadi saksi akan keabsahan transaksi antar mereka. Ini pun masih merupakan petunjuk Al-Quran yang ada di surat dan ayat yang sama dengan etika nomor 4.
5. Melunasi Tepat pada Waktu
Biasanya, di dalam kesepakatan utang-piutang terdapat perjanjian, kapan utang tersebut akan dilunasi. Membayar utang tepat pada waktu (akan lebih baik sebelum jatuh tempo) merupakan suatu keharusan. Seseorang harus berusaha sekuat tenaga untuk menyiapkan dana tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Dengan demikian, berarti kita telah berkomitmen dengan apa yang telah disepakati. Jangan sampai kita mengecewakan orang yang telah meringankan urusan kita dengan meminjamkan uangnya, tapi kita balas dengan pengingkaran janji. Lebih-lebih, kalau penangguhan tersebut, sengaja kita rencanakan. Sungguh hal ini termasuk kedzaliman yang nyata terhadap diri sendiri, ataupun orang lain.
Rasulullah bersabda, ”Penangguhan orang kaya (dalam pembayaran utangnya) itu adalah kedzaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim).
6. Melunasi Utang Sebelum Harta Warisan Dibagi
Di antara kewajiban ahli waris (orang yang berhak mendapat harta warisan dari saudaranya yang meninggal) terhadap harta yang ditinggalkan adalah melunasi utang si mayit, sebelum dibagi-bagikan kepada ahli waris. Demikianlah ketentuan dari syariat Islam. Sekiranya harta tersebut ternyata kurang, maka masing-masing pihak (terutama keluarga) berkewajiban untuk melunasinya.
7. Menyedekahkan Utang Atas Nama Pemilik Piutang
Tidak menutup kemungkinan, dalam membayar utang, kita kehilangan jejak orang yang telah memberi kita utang. Hal ini bisa terjadi karena beberapa sebab, misal pindah alamat ataupun meninggal dunia. Bila ahli warisnya masih ada dan kita mengetahui keberadaan mereka, maka kewajiban kita menyerahkan uang pinjaman tersebut kepada mereka (ahli waris). Akan tetapi, apa bila kita benar-benar tidak mengetahui keberadaan mereka, maka kita menyerahkan uang tersebut untuk fi sabii lillah atau kita sedekahkan atas namanya.
A-Hasan berkata, ”Jika seseorang meninggal sedang ia mempunyai piutang dan ahli warisnya tidak diketahui, maka hendaknya piutang tersebut dijadikan fi sabilillah. Jika ia seorang muslim dan tidak diketahui ahli warisnya, maka hendaknya piutang itu disedekahkan.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah).
Demikianlah adab-adab dalam berutang yang harus kita laksanakan, sekiranya kita memang harus terpaksa mengutang untuk suatu kepentingan. Kita berdoa kepada Allah, mudah-mudahan Ia (Allah) menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang terbebas dari utang, sebagaimana yang senantiasa beliau (Rasulullah) ucapkan setiap kali selesai shalat, sehingga, kegundahan hati karena merasa dikejar-kejar penagih utang, bisa diterelakkan. ”Allahumma innie a’udzubika minal maktsami wal maghrami.” (Ya Allah, aku berlindung padamu dari dosa dan utang). (HR. Bukhari) . Wallahu ’alam bisshowaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar