Minggu, 03 Oktober 2010

Tahlilan Hanya Ada Di Indonesia

http://blog.vbaitullah.or.id/2003/03...tian-tahlilan/

Hukum Selamatan Kematian (Tahlilan)

Berikut akan dijelaskan mengenai hukum melakukan Tahlil untuk orang mati seperti yang banyak dilakukan di masyarakat kita. Kegiatan tersebut biasanya dibarengkan dengan selamatan 7, 40, 100 dan 1000 hari setelah seseorang meninggal dunia. Juga dilakukan pada haul (peringatan setiap tahun). Bagaimanakah hukumnya?'

SELAMATAN KEMATIAN (TAHLILAN) BAGAIMANA HUKUMNYA ?

Sudah menjadi tradisi masyarakat di Indonesia ketika salah seorang anggota keluarganya meninggal dunia, maka diadakan acara ritual ” Tahlilan “. Apakah acara tersebut berasal dari Islam ? Mari kita simak dengan hati nurani yang murni untuk mencari yang haq dari dien yang kita yakini ini. Kita lihat acara dalam Tahlilan ( maaf ini hanya sepanjang penulis ketahui, bila ada yang kurang harap maklum)

Biasanya bila musibah kematian pagi hari maka di malam harinya diadakan acara Tahlilan ini yaitu dibacakan bersama-sama surat Yasin atau doa lainnya. Kemudian di do’akan untuk ahli mayit dan keluarganya dan terkadang ahli mayit menyediakan makanan guna menghormati tamunya yang ikut dalam acara Tahlilan tersebut. Bahkan biasanya acara ini bukan hanya pada hari kematian namun akan berlanjut pada hari ke 40 dan seterusnya. Saudaraku, Mari kita simak Hadits Shahih berikut :

Dari Jarir bin Abdullah Al Bajalii, "Kami (yakni para Shahabat semuanya) memandang/menganggap ( yakni menurut madzhab kami para Shahabat ) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.”

Sanad Hadits ini shahih dan rawi-rawinya semuanya tsiqat (dapat dipercaya) atas syarat Bukhari dan Muslim, bahkan telah di shahihkan oleh jama’ah para ulama’ Mari kita perhatikan ijma’/kesepakatan tentang hadits tersebut diatas sebagai berikut:

Mereka ijma’ atas keshahihan hadits tersebut dan tidak ada seorang pun ulama’ (sepanjang yang diketahui penulis-Wallahua’lam) yang mendhaifkan hadits tersebut.
Mereka ijma’ dalam menerima hadits atau atsar dari ijma’ para shahabat yang diterangkan oleh Jarir bin Abdullah. Yakni tidak ada seorang pun ulama’ yang menolak atsar ini.
Mereka ijma’ dalam mengamalkan hadits atau atsar diatas. Mereka dari zaman shahabat sampai zaman kita sekarang ini senantiasa melarang dan mengharamkan apa yang telah di ijma’kan oleh para shahabat yaitu berkumpul-kumpul ditempat atau rumah ahli mayit yang biasa kita kenal di negeri kita ini dengan nama ” Tahlillan atau Selamatan Kematian “.
Mari kita simak dan perhatikan perkataan Ulama’ ahlul Ilmi mengenai masalah ini:

Perkataan Al Imam Asy Syafi’I, yakni seorang imamnya para ulama’, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela sunnah dan yang khususnya di Indonesia ini banyak yang mengaku bermadzhab beliau, telah berkata dalam kitabnya Al Um (I/318) :

”Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan .”

ini yang biasa terjadi dan Imam Syafi’I menerangkan menurut kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan. Ini tidak berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak! Perkataan Imam Syafi’I diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah. Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita’wil atau di Tafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa : ” beliau dengan tegas Mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?”
Perkataan Al Imam Ibnu Qudamah, dikitabnya Al Mughni (Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki) :

”Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci (haram). Karena akan menambah (kesusahan) diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah. Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya, ” Apakah mayit kamu diratapi ?” Jawab Jarir, ” Tidak !” Umar bertanya lagi, ” Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan? Jawab Jarir, ” Ya !” Berkata Umar, ” Itulah ratapan !”

Perkataan Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, dikitabnya : Fathurrabbani Tartib Musnad Imam Ahmad bin Hambal (8/95-96) : ”Telah sepakat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya (yakni berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram. Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alas an ta’ziyah /melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini. Telah berkata An Nawawi rahimahullah, ‘Adapun duduk-duduk (dirumah ahli mayit ) dengan alas an untuk Ta’ziyah telah dijelaskan oleh Imam Syafi’I dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas dibencinya (perbuatan tersebut).’ Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, ”Telah berkata pengarang kitab Al Muhadzdzab : Dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit) dengan alas an untuk Ta’ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats (hal yang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah ” Bid’ah.”

Perkataan Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab (5/319-320) telah menjelaskan tentang Bid’ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy Syaamil dan ulama lainnya dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih.

Perkataan Al Imam Asy Syairazi, dikitabnya Muhadzdzab yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab : ”Tidak disukai /dibenci duduk-duduk ( ditempat ahli mayit ) dengan alasan untuk Ta’ziyah karena sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah "Bid’ah".

Perkataan Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, dikitabnya Fathul Qadir (2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah "Bid’ah yang jelek0". Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang beliau katakana shahih.
Perkataan Al Imam Ibnul Qayyim, dikitabnya Zaadul Ma’aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul (dirumah ahli mayit) dengan alasan untuk ta’ziyah dan membacakan Qur’an untuk mayit adalah ” Bid’ah ” yang tidak ada petunjuknya dari Nabi SAW.

Perkataan Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwa hal tersebut menyalahi sunnah.
Perkataan Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab :
”Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan untuk para penta’ziyah.” (Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139)

Perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ”Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para penta’ziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad dan lain-lain.” (Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal. 93).

Perkataan Al Imam Al Ghazali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy Syafi’I ( I/79), ” Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit.”

Kesimpulan:

Bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit hukumnya adalah BID’AH dengan kesepakatan para Shahabat dan seluruh imam dan ulama’ termasuk didalamnya imam empat.
Akan bertambah bid’ahnya apabila ahli mayit membuatkan makanan untuk para penta’ziyah.
Akan lebih bertambah lagi bid’ahnya apabila disitu diadakan tahlilan pada hari pertama dan seterusnya.

Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut SUNNAH NABI Saw kaum kerabat /sanak famili dan para tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka untuk mereka makan sehari semalam. Ini berdasarkan sabda Nabi Saw ketika Ja’far bin Abi Thalib wafat : ” Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far ! Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang menyibukakan mereka (yakni musibah kematian).” (Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi’I ( I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)

Wahai Saudaraku, Apakah perkataan orang-orang yang ahli dalam ilmu agama tersebut masih belum meyakinkan?

Marilah kita mencoba merenungi dengan hati yang jernih, janganlah kita kedepankan hawa nafsu kita. Tentu dalam hati kita senantiasa banyak pertanyaan yang mengganjal diantaranya:

Kenapa sejak dahulu, kakek kita, bapak kita, ustadz kita bahkan kyiai kita mengajarkannya dan bahkan sudah lumrah dimasyarakat ?

Darimana mereka ( ustadz/kyiai kita ) mengambil dalilnya apa hanya budaya ?
Wahai saudaraku, Dalam menilai sebuah kebenaran bukanlah disandarkan oleh banyak atau sedikitnya orang yang mengikuti, karena hal ini telah disindir oleh Alloh SWT dalam QS. Al An’aam 116 :

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Marilah kita dalam beragama bersandarkan kepada dalil-dalil yang shahih karena dengan berdasar hujjah ( dalil ) yang kuat maka kita akan selamat. Kita tidak boleh beragama hanya mengikuti orang lain yang tidak mengetahui tentangnya karena di akhirat kelak kita akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang telah kita lakukan di dunia, perhatikan peringatan Alloh dalam QS. Al Israa’ 36;

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.”

Semoga Allah SWT memberikan taufik serta hidayah kepada kita sehingga mendapat ridho dari Allah SWT atas amal-amal yang kita lakukan dan bukan sebaliknya, Amiin


__________________
Hadits No 663 dalam Riyadhus Shalihin.

Dari Ibnu Umar ra bahwasanya Nabi SAW bersabda: “Seorang muslim wajib ta’at terhadap pemerintahnya, baik dalam hal yang disenangi atau dibenci, kecuali jika menyuruh berbuat maksiat. Maka jika pemerintah menyuruh demikian tidak perlu didengarkan ataupun ditaati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar