Minggu, 10 Oktober 2010

Fenomena Ustadz Palsu

Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifulah

Hiruk pikuknya dunia modern dengan pernikperniknya menyebabkan manusia mengalami kekeringan rohani dan haus akan ilmu agama. Kecenderungan masyarakat yang haus ilmu agama ini diiringi dengan munculnya ustadz-ustadz muda di berbagai media massa yang menawarkan berbagai metode keagamaan. Ada yang menawarkan manajemen qolbu, ada pula yang menyemarakkan dzikir-dzikir bersama dan hal-hal lainnya yang bernuansa menyelisihi Sunnah.

Banyak dari kaum muslimin yang terhanyut di dalam buaian hidangan yang disuguhkan oleh ustadz-ustadz tersebut. Bagi mereka, yang penting rohani yang kering dapat terpuaskan. Karenanya, tidak mengherankan jika sekarang ini banyak orang-orang yang memanfaatkan peluang ini, sehingga ke dalam bidang ilmu dan dakwah masuklah orang-orang yang bukan ahlinya dengan berbagai latar belakang yang beraneka ragam seperti pelawak, penyanyi, fotomodel, dan ilmuwan yang jauh dari ilmu agama yang shohih.

Yang lebih memprihatinkan lagi, “ustadz-ustadz” tersebut termasuk orang-orang yang “ringan” berfatwa, dan bisa ditebak jika begitu banyak dari fatwa-fatwa mereka yang menyelisihi din yang shohih. Demikianlah, jika ada orang yang masuk ke dalam selain bidangnya maka akan mendatangkan hal-hal yang ajaib. Tentunya tidak semua orang yang mengaku ulama dapat berfatwa dan diikuti tindak-tanduknya. Kita harus kritis terhadap mereka sehingga kita tidak mudah terperangkap oleh orang yang disebut ustadz atau mengaku sebagai ulama.

Semua ini untuk mencegah agar tidak ada umat yang tersesat dan disesatkan, karena sebaik-baik petunjuk adalah yang selaras dengan al-Qur‘an dan as-Sunnah, serta contoh dari para sahabat rodliyallohu anhum, sebagai potret generasi terbaik umat ini — sebagaimana pujian yang diberikan oleh Alloh dan Rosul-Nya.

Masuknya para penyelundup di dalam bidang ilmu ini bukanlah hal yang baru. Bahkan fenomena ini telah terjadi pada zaman dahulu sehingga para ulama mutaqoddimin (ulama terdahulu) dan muta‘akhkhirin (ulama zaman sekarang) telah memperingatkan umat dari para penyelundup ini di dalam kitab-kitab mereka untuk membersihkan bidang ilmu dari orang-orang yang mengotorinya. Di antara para ulama muta‘akhkhirin yang telah membahas hal tersebut adalah Syaikh Bakr bin Abdulloh Abu Zaid rohimahulloh di dalam kitab beliau yang berjudul at-Ta’alum wa Atsaruhu ’alal Fikri wal Kitab yang Insya Alloh akan kami petik faedah-faedah darinya di dalam bahasan kita kali ini sebagai nasihat kepada diri kita semuanya.

KETIKA SEGALA PERKARA DISERAHKAN KEPADA SELAIN AHLINYA, TUNGGULAH KIAMAT!

Di antara tanda-tanda kiamat yang dikabarkan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam adalah jika urusan-urusan diserahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya, fatwa diserahkan kepada orang jahil, pemerintahan diserahkan kepada orang yang dungu, amanat diserahkan kepada orang yang khianat. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam bersabda: “Jika urusan diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah kiamat.” [1]

al-Allamah Badruddin al-’Aini rohimahulloh berkata: “Sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam ‘Jika urusan diserahkan’ maksudnya adalah jenis urusan-urusan yang berhubungan dengan agama seperti khilafah, qodho’ (hukum), fatwa, dan yang semacamnya, dan dikatakan yaitu dengan diserahkan kepada selain ahli din dan amanat dan orang-orang yang membantu mereka atas kezholiman dan kefajiran, dan pada saat itu jadilah para pemimpin telah menyianyiakan amanat yang Alloh Ta’ala wajibkan atas mereka hingga orang khianat diberi amanat dan orang yang diamanati berkhianat. Dan ini terjadi jika kebodohan menjadi dominan dan ahlil haq lemah di dalam menegakkan al-haq.” [2]
al-Hafizh Ibnu Rojab al-Hanbali rohimahulloh berkata:
“… Berbaliklah segala keadaan-keadaan, orang yang dusta dibenarkan, orang yang jujur didustakan, pengkhianat dipercaya, orang yang amanat dianggap khianat, orang jahil (bodoh) bicara, orang alim (berilmu) diam atau tidak ada sama sekali, sebagaimana telah shohih dari Nabi shollallohu ‘alaihi wassalam bahwasanya beliau shollallohu ‘alaihi wassalam bersabda: ‘Sesungguhnya di antara tanda kiamat adalah terangkatnya ilmu dan tampaknya kebodohan.’ [3]

Dan Nabi shollallohu ‘alaihi wassalam mengabarkan bahwasanya: ‘Sesungguhnya Alloh tidak mencabut ilmu (agama) dengan serta-merta dari hamba-hambaNya. Akan tetapi, Alloh mencabut ilmu dengan mewafatkan (mematikan) ulama, sehingga Alloh tidak menyisakan orang berilmu. Maka, manusia mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Lalu, mereka ditanya, dan mereka memberi fatwa tanpa ilmu. Maka, mereka sesat dan menyesatkan.’ [4]

Asy-Sya’bi rohimahulloh berkata: ‘Tidaklah tegak kiamat hingga jadilah ilmu sebagai kejahilan dan kejahilan sebagai ilmu.’

Ini semua di antara pemutarbalikan realita-realita di akhir zaman dan terbaliknya perkara-perkara.” [5]

Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini rohimahulloh berkata: “Nabi shollallohu ‘alaihi wassalam bersabda dalam hadits ini: ‘Jika urusan diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah kiamat’, sungguh telah terbukti realita makna hadits ini di zaman ini, di sana ada serangan membabi buta kepada ashhabul hadits, hingga masuk para wanita di dalam serangan membabi buta ini, seorang wanita mengatakan bahwa tidak shohih dari Nabi shollallohu ‘alaihi wassalam kecuali 17 hadits saja!” [6]

PARA PENYELUNDUP DALAM BIDANG FATWA

Pada hari ini kita mendengar betapa beraninya manusia berfatwa, berbicara atas Alloh tanpa ilmu, berdasar atas persangkaan, bahkan ada yang menjawab pertanyaan sebelum selesai soal dibacakan, menoleh ke kanan dan ke kiri membanggakan jawabannya, berfatwa secepat kilat dalam masalah-masalah yang dahulu para imam tawaqquf padanya.

al-Imam Malik rohimahulloh berkata: “Telah mengabarkan kepadaku seorang laki-laki bahwa dia masuk kepada Robi’ah bin Abdurrohman, ternyata dia dapati sedang menangis, maka dia bertanya: ‘Apakah yang membuatmu menangis?’ Dia takut dengan tangisannya, maka dia berkata kepada Robi’ah: ‘Apakah ada musibah yang menimpamu?’ Robi’ah menjawab: ‘Tidak. Akan tetapi, orang yang tidak punya ilmu telah dimintai fatwa dan telah muncul di dalam Islam perkara yang besar.’ Robi’ah berkata: ‘Dan untuk sebagian yang berfatwa di sini lebih pantas untuk dipenjara daripada para pencuri.’[7]

al-Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Sebagian ulama berkata: ‘Bagaimana jika Robi’ah melihat zaman kita, dan lancangnya orang yang tak berilmu atas fatwa, begitu bersemangat di dalamnya, mempersulit diri kepadanya, dia masuki bidang fatwa dengan kejahilan dan keberanian dengan sedikitnya pengetahuan dan jeleknya perilaku serta kejelekan niat. Dalam keadaan dia di kalangan ahli ilmu diingkari atau orang asing. Tidaklah dia punya bagian di dalam ma’rifat al-Kitab, as-Sunnah, dan atsar salaf…’ Barang siapa yang lancang pada yang dia bukan ahlinya dalam bidang fatwa, hukum, atau pengajaran, maka dia pantas untuk dicela, serta fatwa dan hukumnya tidak halal diterima; inilah hukum agama Islam.” [8]

Adapun para salafush sholih maka mereka begitu waro’ dan berhati-hati dalam berfatwa. Ibnu Abi Laila rohimahulloh berkata: “Aku telah mendapati 120 sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassallam, tidak ada satu pun dari mereka
yang menyampaikan hadits kecuali berharap agar saudaranya yang mencukupinya (menggantikannya) dalam menyampaikan hadits tersebut, dan tidak ada yang berfatwa kecuali berharap agar saudaranya mencukupinya dari fatwa tersebut, seorang dari mereka ditanya tentang suatu masalah maka mengalihkannya kepada yang lainnya, dan yang lainnya kepada yang lainnya, dan yang lainnya kepada yang lainnya, hingga kembali kepada yang pertama.”[9]

Dari Uqbah bin Muslim rohimahulloh, dia berkata: Aku menemani Abdulloh bin Umar rodliyallohu anhu selama 34 bulan maka yang banyak dia ucapkan ketika ditanya: ‘Saya tidak tahu’ Kemudian dia menoleh kepadaku seraya berkata: ‘Tahukah kamu apa yang mereka kehendaki? Mereka hendak menjadikan punggung-punggung kami sebagai jembatan bagi mereka ke Jahannam.’ ”[10]

Dari Ayyub rohimahulloh, bahwasanya orang-orang di Mina berbondong-bondong mendatangi al-Qosim bin Muhammad untuk bertanya kepadanya, maka al-Qosim berkata: “Saya tidak tahu.” Kemudian dia berkata: “Demi Alloh, tidaklah kami tahu semua yang kalian tanyakan kepada kami. Seandainya kami mengetahuinya, tidak akan kami sembunyikan kepada kalian.” [11]

Abdurrohman bin Mahdi rohimahulloh berkata: “Kami berada di sisi al-Imam Malik bin Anas rohimahulloh, tiba-tiba datanglah seseorang kepadanya seraya berkata: ‘Aku datang kepadamu dari jarak enam bulan perjalanan. Penduduk negeriku menugasiku untuk menanyakan kepadamu suatu permasalahan.’ al-Imam Malik rohimahulloh berkata: ‘Tanyakanlah!’ Maka orang tersebut bertanya kepadanya suatu permasalahan, lalu al-Imam Malik rohimahulloh menjawab: ‘Saya tidak bisa menjawabnya.’ Orang tersebut terhenyak, sepertinya dia membayangkan bahwa dia telah datang kepada seseorang yang tahu segala sesuatu, orang tersebut berkata: ‘Lalu apa yang akan aku katakan kepada penduduk negeriku jika aku pulang kepada mereka?’ al-Imam Malik rohimahulloh berkata: ‘Katakan kepada mereka: Malik tidak bisa menjawab.’ ” [12]

PARA PENYELUNDUP DALAM BIDANG TAFSIR

Pada hari ini, begitu besar musibah yang terjadi di dalam bidang tafsir. Telah menyelundup ke dalamnya, orang-orang jahil yang tidak tahu as-Sunnah dan tidak hafal al-Kitab. Orang-orang jahil itu begitu percaya diri dengan perasaan dan akalnya sehingga menyeret dan memelintir ayat-ayat Alloh Ta’ala kepada hasil pemikiran-pemikiran sesatnya.

Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir rohimahulloh berkata: “Adapun pada zaman kita, telah muncullah musibah-musibah, dan tumbuhlah generasi-generasi dari orang-orang yang diperbudak oleh pemikiran-pemikiran misionaris dan hawa-hawa nafsu mereka, dari orang-orang yang bodoh terhadap bahasa Arab kecuali bahasa-bahasa pasaran dan yang semacam mereka. Mereka jahil akan al-Qur’an dan tidak membacanya, dan tidaklah memperdengarkannya kecuali sedikit. Mereka jahil akan Sunnah bahkan merupakan musuh-musuhnya. (Mereka) dari orang-orang yang mengejek ilmu para ulama Islam dan menganggap mereka (para ulama tersebut) dungu. Lisan-lisan mereka begitu lancang mengucapkan ucapan-ucapan yang jelek terhadap salaf kita yang sholih dari kalangan sahabat, tabi’in, dan yang datang sesudah mereka, bahkan tidaklah mereka beriman kepada yang ghoib kecuali sedikit. Mereka ini dan yang serupa dan semisal mereka, begitu berani berbuat iseng terhadap al-Qur’an dan mempermainkan Sunnah. Mereka masuk kepada tafsir al-Qur’an dan menyangka diri mereka memiliki ijtihad yang jahil, mereka memfitnah manusia dan mengajari mereka perbuatan iseng dan permainan, dan mereka cabut keimanan dari dalam hati mereka. Tidaklah saya katakan mereka ini dan mereka yang lain menafsirkan al-Qur’an dengan hawa-hawa nafsu mereka, karena mereka lebih lemah dan lebih bodoh dari memiliki hawa nafsu, bahkan mereka menafsirkan al-Qur’an dengan hawa-hawa nafsu majikan-majikan mereka dan guru-guru mereka dari para misionaris dan para penjajah musuh-musuh Islam.” [13]

Di antara contoh-contoh mereka di zaman ini adalah seruan “penyegaran” Islam dengan menyuguhkan cara baru di dalam menafsirkan agama Islam sebagaimana dikatakan oleh seorang dari mereka: “Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang cenderung membeku, menjadi ‘paket’ yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita dengan cara sederhana: take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri. Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini.”

PARA PENYELUNDUP DALAM BIDANG SUNNAH

Nabawiyyah Bidang sunnah Nabawiyyah telah dimasuki pula oleh orang-orang yang bukan ahlinya. Al-Imam al-Khothib al-Baghdadi rohimahulloh menceritakan tentang keadaan mereka:
“Sungguh aku telah melihat orang-orang dari penghuni zaman ini menisbatkan diri kepada hadits, dan menganggap diri-diri mereka termasuk ahlinya, memiliki spesialisasi mendengar hadits dan menukilnya, padahal mereka adalah orang yang paling jauh dari dakwaan mereka, paling sedikit ma’rifatnya akan apa yang mereka nisbatkan diri mereka kepadanya. Seorang dari mereka memandang jika telah menulis jumlah yang sedikit dari juz-juz, menyibukkan diri mendengar hadits dalam waktu sedikit, bahwa dia adalah ahli hadits secara mutlak, dan tidak pernah mengupayakan jiwanya dan memaksanya untuk mencarinya, dan tidak pernah bersusah payah menghafal macam-macamnya dan bab-babnya…

Dan mereka—dengan sedikitnya apa yang mereka tulis dari hadits dan ketiadaan ma’rifat mereka tentangnya—adalah orang yang paling besar kesombongannya, paling sesat lagi ’ujub, tidak memperhatikan kehormatan guru, dan tidak mewajibkan tanggung jawab kepada murid. Mereka melecehkan para perowi dan mereka kasar terhadap para penuntut ilmu. (Mereka) menyelisihi konsekuensi ilmu yang mereka dengarkan, dan lawan dari kewajiban yang mengharuskan mereka untuk mengerjakannya…” [14]

Syaikh Bakr bin Abdulloh Abu Zaid rohimahulloh menceritakan contoh-contoh fenomena orang-orang yang berlagak tahu padahal bodoh di dalam ilmu hadits, beliau berkata:
“Sesungguhnya kitab-kitab Sunnah yang mulia, di dalam sebagian naskahnya ada perbedaan, karena perbedaan para perowinya. Kadang perbedaan terjadi dalam satu bab secara keseluruhan, atau di dalam satu hadits atau di dalam lafazh suatu hadits, dan seterusnya…

Telah terjatuh banyak orang di dalam banyak kesalahan karena kelalaian mereka tentang hal ini.

Suatu contoh, seorang imam menyandarkan kepada Sunan Abu Dawud riwayat Ibnu Dasah, kemudian datanglah seorang pentahqiq zaman ini yang merujuk kepada Sunan Abu Dawud yang telah dicetak, ternyata ia dari riwayat al-Lu‘lu‘i maka dia katakan bahwa imam tersebut telah waham (keliru) karena hadits tersebut tidak ada di dalam Sunan Abu Dawud yang dicetak tersebut, padahal dia (pentahqiq) sendirilah yang waham.” [15]

PARA PENYELUNDUP DALAM BIDANG FIQIH

Ilmu fiqih juga telah dimasuki oleh berbagai macam penyelundup. Ada yang begitu mudah mengambil keringanan, ada yang begitu senang memakai pendapat-pendapat yang syadz (ganjil), ada yang tidak tahu istilah seorang faqih di dalam ungkapan-ungkapannya, dan ada lagi yang fiqihnya mengikuti hawa nafsunya.

Kemudian, di sisi lain, adalah para murid “madrasah fiqih modern” yang masuk di dalamnya orang-orang yang terkenal. Orang-orang kafir pun menjadikan mereka mereka ini sebagai corong-corong mereka, sehingga orang kafir berhasil memasukkan makar-makar mereka dengan jalan orang-orang ini, dengan menjadikan syari’at baru dan yang telah diselewengkan sebagai ganti syari’at Alloh.
Inilah di antara jalan-jalan mereka:

1. Klaim “Berubahnya fatwa sesuai dengan perubahan zaman”

Kaidah ini adalah kaidah fiktif yang tidak ada hakikatnya; karena seluruh orang-orang yang menyebutkannya dari fuqoha memberikan batasan kepadanya dengan hukum-hukum ijtihadiyah yang berubah dengan perubahan adtat kebiasaan, adapun hukum-hukum yang memiliki nash maka tidak bisa dibawa kepadanya.

Para ahli fiqih modern begitu jauh dalam hal ini, hingga mereka katakan bahwa hukum had (pidana) yang memiliki nash yang qoth’i bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman

2. Seruan “membuka pintu ijtihad” padahal hakikatnya adalah melicinkan jalan bagi musuh-musuh islam untuk merusak islam

3. Mencari-cari rukhshoh (keringanan) dan menggabungkan madzhab-madzhab dan pendapat-pendapat tanpa dalil syar’i yang rojih (kuat)

4. Studi perbandingan antara islam yang datang-nya dari Alloh Ta’ala dengan undang-undang dan hukum-hukum buatan manusia

SEBAB-SEBAB MUNCULNYA PARA PENYELUNDUP DALAM ILMU

Syaikh Bakr bin Abdulloh Abu Zaid rohimahulloh mengatakan sebab-sebab munculnya fenomena-fenomena ta’alum (sikap sok berilmu dari orang-orang bodoh) dengan mengatakan: “Barangkali bisa disebutkan seba-sebabnya secara global sebagai berikut:

  1. Orang-orang yang ahli tidak menunaikan tugas penyampaian ilmu dan turun ke medan
  2. Kurangnya persiapan-persiapan yang benar
  3. Kurangnya perhatian terhadap problem-problem dan solusi-solusinya
  4. Mewabahnya penyakit ‘gila popularitas’ karena lenyapnya kekuatan iman
  5. Lemahnya hubungan antara penuntut ilmu dengan kitab-kitab salaf, karena menimba ilmu berubah dari kitab-kitab salaf kepada diktat-diktat dan karangan-karangan orang-orang belakangan (kalaf. red)
  6. Membalik ‘bahasa ilmu’ di dalam istilah-istilah dengan apa-apa yang tidak sesuai dengan ‘bahasa ilmu’ untuk kitab-kitab salaf.” [16]

WAJIBNYA MENGIKHLASKAN NIAT DI DALAM ILMU

Telah kita sebutkan di atas fenomena-fenomena ta’alum (sikap sok berilmu dari orang-orang bodoh) dan sebab-sebabnya, dan diantara hal-hal yang bisa menyelamatkan para penuntut ilmu dari penyakit-penyakit tersebut adalah mengikhlaskan niat kepada Alloh Ta’ala, karena semua ibadah seorang muslim tidak akan diterima di sisi Alloh Ta’ala kecuali jika terpenuhi di dalamnya dua syarat:

  1. Hendaknya Amalan tersebut di-Ikhlas-kan semata kepada Alloh Ta’ala, karena sesungguhnya Alloh Ta’ala tidak akan menerima amalan kecuali yang dimurnikan semata kepada-Nya, Alloh Ta’ala berfirman: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus (QS. Al-Bayyinah [98]:5)
  2. Hendaknya Ittiba’ (mengikuti) Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam, karena sesungguhnya Alloh Ta’ala tidak akan menerima amalan kecuali yang cocok dengan petunjuk Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam. Alloh Ta’ala berfirman: apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.(QS. Al-Hasyr [59]:7)

Maka tidak akan berguna setiap amalan jika tidak ikhlas semata untuk Alloh dan benar sesuai dengan sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam. Fudhail bin ‘Iyadh rohimahulloh berkata tentang makna firman Alloh Ta’ala:

Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Al-Mulk [67]:2)

“Yaitu yang paling ikhlas dan paling benar” Ditanyakan kepadanya: “Wahai Abu Ali, apakah yang dimaksud dengan yang paling ikhlas dan yang paling benar?” maka dia menjawab: “Sesungguhnya jika amalan jika dia ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima, dan jika dia benar dan tidak ikhlas maka tidak akan diterima hingga menjadi ikhlas dan benar. Ikhlas adalah jika diniatkan semata-mata karena Alloh, dan benar jika dilandaskan di atas sunnah” [17]

Begitu banyak perkataan para salaf agar meluruskan niat di dalam menuntut ilmu, karena diantara sebab-sebab penyakit ta’alaum adalah gila popularitas. Ibrohim bin Adhom rohimahulloh berkata: “Tidak pernah jujur kepada Alloh, orang yang gila popularitas” [18]

Al-Imam adz-Dzahabi rohimahulloh berkata: “Hendaknya seorang yang berilmu berbicara dengan niat dan maksud yang benar, jika dia merasa takjub dengan ucapannya maka hendaknya dia diam, dan jika dia takjub dengan diamnya maka hendaknya dia bicara janganlah bosan-bosan mengintrospeksi jiwanya, karena sesungguhnya jiwa suka kepada popularitas dan pujian” [19]

TIDAK BOLEH MENGIKUTI KETERGELINCIRAN PARA ULAMA

Orang-orang yang ilmunya setengah matang menjadikan hawa nafsu mereka sebagai hakim dalam masalah-masalah khilafiyyah (perselisihan). Mereka memilih pendapat yang paling mudah yang paling enak menurut hawa nafsu mereka tampa bersandar kepada dalil syar’i. bahkan mereka taqlid kepada kesalahan orang alim, yang seandainya orang alim tersebut mengetahui kebenaran maka dia akan meninggalkan pendapat-nya (yang salah tersebut) tampa ragu-ragu. Bahkan mereka mengambil rukhshoh dari para fuqoha pada suatu permasalahan dan meninggalkan pendapat-pendapat para fuqohq itu dalam permasalahan lain. Mereka menyesuaikan antara madhzhab-madhzhab dan menggabungkan pendapat-pendapat menurut hawa nafsu mereka!

Padahal yang wajib atas setiap muslim adalah ittiba’ (mengikuti) dalil bukan mengikuti hawa nafsunya sebagaimana Alloh Ta’ala wajibkan setiap manusia agar selalu ittiba’ kepada wahyu yang diturunkan oleh Alloh kepada Rosul-Nya. Alloh Ta’ala menjadikan wahyu tersebut sebagai petunjuk kepada manusia di dalam kehidupannya

Tidak ada seorang pun dari para imam -yang diakui imamahnyaoleh seluruh ummat- sengaja menyelisihi sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam. Bahkan mereka selalu memerintahkan umat agar selalu ittiba’ kepada sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam. Namun betapapun para ulama berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengikuti al-haq, kadang mereka terjatuh di dalam kesalahan, karena tabiat manusia yang tercipta dalam keadaan lemah sebagaimana firman Alloh ‘Azza wa jalla:

dan manusia dijadikan bersifat lemah.(QS. An-Nisa’ [4]:28)

Manusia diciptakan oleh Alloh Ta’ala dalam keadaan lemah di dalam ilmu dan pemahamannya. Karena lemah, ia tidak mungkin mengetahui dan menguasai segala sesuatu. Ia pasti akan terjatuh di dalam kesalahan pada sebagian permasalahan.

Maka tidak boleh mengikuti kesalahan-kesalahan para ulama, sebagaimana juga tidak boleh merendahkan para ulama dengan sebab ketergelinciran mereka. Al-Hafidz adz-Dzahabi rohimahulloh berkata: “Sesungguhnya seorang dari para imam jika banyak benarnya, diketahui usahanya untuk mengikuti al-haq, diketahui keluasan ilmunya, tampak kecerdasannya, diketahui kesholihannya, waro’nya, dan ittiba’nya, maka ketergelincirannya diampuni. Kita tidak menganggapnya sesat, tidak melemparkannya, dan tidak melupakan kebaikan-kebaikannya. Ya kita tidak mengikuti dia dalam kebid’ahannya dan kesalahannya, dan kita mengharapkan baginya taubat dari hal itu” [20]

PENUTUP

Inilah yang bisa kami sampaikan dalam bahasan ini,dan kami menasehati pada diri kami dan kaum muslimin semuanya agar berhati-hati di dalam berbicara tentang agama, karena Alloh Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya

Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Alloh dengan sesuatu yang Alloh tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Alloh apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-A’rof [7]:33)

Dalam ayat ini Alloh menjadikan perbuatan mengada-adakan perkataan terhadap Alloh Ta’ala setara dengan kesyirikan, bahkan lebih sangat Haramnya daripada kesyirikan. Hal ini menunjukkan betapa berbahayanya berbicara tentang agama (tampa ilmu.red)

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Barang siapa yang berfatwa tampa ilmu, dosanya ditanggung oleh orang yang berfatwa” [21]

Al-Imam asy-Syafi’i rohimahulloh berkata: “Manusia tidak boleh berbicara kecuali yang mereka mengetahui ilmunya. Sungguh telah berbicara didalam ilmu, orang yang jika dia menahan diri dari dari sebagian yang dia ucapkan maka sungguh menahan diri lebih baik baginya dan lebih selamat, insya Alloh” [22]

Akhirnya kita memohon kepada Alloh Ta’ala agar menunjuki kita ke jalan yang lurus. []

Sumber: Majalah Al Furqon. No: 106 edisi 02. Th. Ke-10 Romadhon- Syawal 1431 [Agst/Sept 2010]

Artikel: ibnuabbaskendari.wordpress.com


Catatan Kaki:


[1] Diriwayatkan oleh Bukhori dalam Shohih-nya 1/23[2] ’Umdatul Qori Syarh Shohih Bukhori 2/386 — Syamilah

[3] Shohih Bukhori 7/48 dan Shohih Muslim 8/58

[4] Diriwayatkan oleh Bukhori dalam Shohih-nya 1/36 dan Muslim dalam Shohih-nya 8/60

[5] Jami’ul Ulum wal Hikam 1/120–121

[6] Syarh Shohih Bukhori 4/8 — Syamilah

[7] Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr di dalam Jami’ al-Ilmi wa Fadhlihi 2/388 terbitan ar-Royyan

[8] I’lamul Muwaqqi’in 4/207–208

[9] Diriwayatkan oleh: Ibnu Sa’ad didalam Thobaqot Kubro 6/109-110 dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Imi wa Fadhlihi No. 2199 dan 2202 dengan sanad yang shohih sebagaimana dikatakan oleh Abul Asybal az-Zuhairi dalam takhrijnya terhadap al-Jami’ hlm. 1120

[10] Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr di dalam Jami’ al-Ilmi wa Fadhlihi No. 1585 dan 1629 dan al-Khotib di dalam al-Faqih wal Mutafaqqih 2/172 dengan sanad yang shohih sebagaimana dikatakan oleh Abul Asybal az-Zuhairi dalam takhrijnya terhadap al-Jami’ hlm.841

[11] Diriwayatkan oleh Darimi dalam Sunan-nya 1/48 dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 2/836 dengan sanad yang shohih

[12] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Taqdimah Jarh wa Ta’dil hlm. 18 dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 2/838 dengan sanad yang shohih

[13] Umdatu Tafsir dan Kalimatu Haqqin hlm. 5 dengan perantaraan kitab at-Ta’alun wa Atsaruhu ‘alal Fikri wal Kitab hlm. 42-43

[14] al-Jami’ LiakhlaqiRowi wa Adabis Sami’ hlm. 1 dan 4

[15] at-Ta’alum wa Atsaruhu ’alal Fikri wal Kitab hlm. 51–52

[16] at-Ta’alun wa Atsaruhu ‘alal Fikri wal Kitab hlm. 25-26

[17] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Hilyatul Auliya’ 8/95

[18] Siyar A’lam Nubala’ 7/393

[19] Siyar A’lam Nubala’ 4/494

[20] Siyar A’lam Nubala’ 5/271

[21] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya; 3657 dan al-Hakim dalam al-Mustadrok 1/84, dihasankan oleh Syaikh al-Albani rohimahulloh dalam Shohih Sunan Abu Dawud 2/410

[22] ar-Risalah hlm.41



Tidak ada komentar:

Posting Komentar