Oleh: Asy Syaikh Ahmad Syakir
(Sambungan dari bagian pertama)
Adapun mereka adalah para pengikut hawa nafsu yang menunggangi akal-akal mereka, bukan ahli ilmu apalagi dalil, mereka menyelewengkan dalil dari tempatnya, dan mempermainkan dalil-dalil syariat dari Al-Kitab dan As-Sunnah selagi mereka mampu. Di antara permainan mereka, mereka berdalil dengan kisah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika melamar anak perempuan Abu Jahl di masa hidup Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dimintai izin dalam hal ini, beliau berkata,
“Saya tidak mengizinkan, tidak mengizinkan, tidak mengizinkan, kecuali apabila Ibnu Abi Thalib ingin menceraikan anakku kemudian menikahi anak mereka, karena sesungguhnya dia (Fathimah -pent.) adalah bagian dariku menggundahkanku apa-apa yang menggundahkannya dan menyakitiku apa-apa yang menyakitinya.”
Mereka tidak membawakan hadist lengkap dengan lafalnya, akan tetapi merangkum kisah dengan rangkuman yang buruk untuk dipakai dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang poligami, bahkan sebagian mereka terang-terangan berdalil dengan kisah ini untuk mengharamkan poligami! Mempermainkan agama dan berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Lantas mereka meninggalkan kelanjutan kisah yang di sana terdapat bantahan atas kedustaan mereka -saya tidak katakan pendalilan mereka- yaitu perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada kejadian yang sama,
“Dan saya bukannya mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram, akan tetapi demi Allah tidak akan bersatu anak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan anak musuh Allah di satu tempat selama-lamanya.”
Kedua lafal di atas diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
Inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sang penyampai dari Allah subhanahu wa ta’ala yang ucapannya adalah pembeda antara yang halal dan yang haram menegaskan dengan lafal arabi yang nyata pada kejadian yang penting yang berkaitan dengan orang yang paling dicintainya yaitu anaknya yang mulia As-Sayyidah Az-Zahra’ bahwa ia tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal, akan tetapi ia mengingkari apabila anaknya berkumpul dengan anak musuh Allah di bawah tanggungan seseorang.
Menurut pemahamanku (penulis -pent.), beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarang Ali radhiyallahu ‘anhu menyatukan anaknya dengan anak Abu Jahl, dimana kapasitasnya sebagai seorang Rasul yang menyampaikan hukum syariat dari Rabb-nya. Hal ini berdasarkan dalil keterangan dari beliau sendiri bahwa ia tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram, akan tetapi beliau melarang sebagai larangan pribadi beliau sebagai kepala keluarga yang mana Ali radhiyallahu ‘anhu adalah anak pamannya dan Fathimah anaknya.
Hal ini didasari bahwa keluarga dari anak perempuan Abu Jahl yang datang kepada beliau meminta izin kepada beliau dalam urusan yang diminta oleh Ali radhiyallahu ‘anhu dari mereka. Dan perkataan kepala keluarga tidak disangkal lagi ditaati, terlebih lagi apabila dia seorang pemuka Quraisy dan Arab bahkan pemuka sekalian manusia shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada pada mereka sedikitpun pendalilan begitu pula kesungguhan mengikuti dalil dari Al-Kitab maupun As-Sunnah. Tidak pula mereka dikatakan ahli dalam hal ini dan memiliki kemampuan. Akan tetapi yang ada pada mereka semata-mata hanyalah hawa kepada sesuatu tertentu yang mereka cari-cari alasan-alasannya yang terkadang hanya dilontarkan oleh orang jahil atau orang yang lalai.
Bahkan pada goresan tulisan-tulisan mereka terdapat bukti yang menyingkap dan membongkar apa yang mereka sembunyikan dalam batin-batin mereka. Di antara contohnya bahwa ada seorang pejabat tinggi di salah satu departemen pemerintahan di negeri kami, membuat tulisan yang mengesankan bahwa tulisan tersebut resmi dan dimuat di koran-koran sejak beberapa tahun yang lampau, dia memposisikan dirinya sebagai seorang mujtahid bukan hanya dalam syariat Islam semata bahkan dalam seluruh syariat dan hukum!!
Diapun lancang dengan membuat perbandingan antara agama Islam -dalam perkara dimana syariat Islam menghalalkan poligami- dengan agama-agama lainnya!! Begitu pula (Islam dibanding-bandingkan -pent.) di sisi hukum dan undang-undang umat-umat paganis! Orang ini tidak punya malu sehingga mengunggulkan ajaran Nashrani yang mengharamkan poligami, begitu pula ajaran-ajaran kufur lainnya yang serupa bahkan perkataannya nyaris lugas menyatakan keutamaan ajaran-ajaran mereka dari ajaran Islam yang suci!!
Orang ini lupa bahwa dengan perbuatannya tersebut berarti dia telah keluar dari agama Islam dengan kekufuran yang nyata, padahal dari namanya mengisyaratkan bahwa orang ini dilahirkan dalam keluarga muslimah. Ditambah lagi perkataannya yang menandakan jahilnya orang ini dengan agama Nashrani sehingga dia menetapkan keunggulan agama Nashrani dari ajaran Islam.
Karena merupakan hal yang sangat diyakini dan tidak diragukan lagi bahwa Sayyiduna Isa ‘alahissalam tidak mengharamkan poligami yang halal di dalam Taurat, yang mana Isa ‘alahissalam sendiri datang untuk membenarkan apa yang terdapat di dalam Taurat sebagaimana hal ini dimaklumi berdasarkan nash yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Akan tetapi yang mengharamkannya adalah sebagian pendeta-pendeta yang datang setelah Sayyiduna Isa ‘alahissalam lebih dari delapan ratus tahun sesudahnya dengan pasti, yang dengannya mereka menjadikan untuk diri-diri mereka sendiri hak dalam menghalalkan dan mengharamkan. Dan hal inilah yang disesalkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam kitab-Nya yang mulia,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb ) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31)
Yaitu ayat yang ditafsirkan oleh Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Adi bin Hatim At-Tha’i Radhyallahu ‘anhu -yang sebelumnya adalah penganut agama Nashrani dan kemudian memeluk Islam- minta kepada beliau tafsirannya, yaitu tatkala ia mendengar ayat ini seraya ia berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya mereka tidak menyembah orang-orang alim dan rahib-rahib mereka?”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tentu sesungguhnya mereka telah mengharamkan untuk umatnya apa yang telah dihalalkan dan menghalalkan apa yang telah diharamkan, lantas mereka mengikuti perintah orang-orang alim dan rahib-rahib tersebut, itulah bentuk peribadahan mereka kepada orang-orang alim dan rahib-rahib tersebut.”
Wahai umat Islam jangan biarkan syaithan menyeret kalian dan jangan biarkan para pengikutnya dan orang-orang yang mengikuti para penyembah syaithan memperdaya kalian sehingga kalian meremehkan kekejian yang memang ingin mereka sebar luaskan di antara kalian dan meremehkan kekufuran yang memang mereka ingin jerumuskan kalian ke dalamnya.
Karena masalahnya bukan sekedar boleh atau tidak boleh, sebagaimana yang mereka samarkan kepada kalian. Melainkan ini adalah masalah aqidah, apakah kalian tetap kokoh di atas keIslaman kalian dan di atas syari’at yang Allah subhanahu wa ta’ala turunkan kepada kalian dan Dia perintahkan kalian untuk mentaatinya seperti apapun keadaan kalian? Atau kalian malah mencampakkannya -hanya kepada Allah kita mohon perlindungan- sehingga kalian kembali kepada panasnya kekufuran dan kalian bersiap-siap menerima kemurkaan Allah dan rasul-Nya? Inilah kondisi yang sebenarnya.
Sesungguhnya mereka yang mengajak kalian kepada pelarangan poligami, mereka sendiri tidak merasa sungkan menggauli sekian banyak wanita-wanita genit dan perempuan-perempuan simpanan dan kondisi mereka yang seperti ini sudah bukan rahasia lagi. Bahkan sebagian mereka tidak malu-malu menanggalkan seragamnya dan membuang kotorannya di koran-koran dan tulisan, kemudian membela kebebasan berijtihad di dalam syari’at dan agama dan merendahkan Islam dan kaum muslimin.
Sesunguhnya Allah tatkala ia menghalalkan poligami -dengan nash yang jelas di dalam Al-Qur’an- Dia menghalalkannya di dalam syari’at-Nya sepanjang masa pada setiap zaman dan masa. Dan Dia Maha Mengetahui apa yang terjadi dan yang akan terjadi, tidak luput dari ilmunya Allah apa yang terjadi berupa peristiwa-peristiwa di zaman ini dan tidak pula apa yang akan terjadi pada masa-masa yang akan datang.
Seandainya hukum ini akan berubah dengan berkembangnya zaman -seperti yang dituduhkan orang-orang yang menyelewengkan agama- tentu Dia akan jelaskan Nashnya di dalam kitab-Nya atau melalui sunnah rasul-Nya,
قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Katakanlah (kepada mereka):”Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui seagala sesuatu.” (Al-Hujurat: 16)
Dan Islam berlepas diri dari kependetaan dan kerahiban. Tidak seorang pun berhak menghapus hukum yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam kitab-Nya atau di dalam sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidak seorang pun berhak mengharamkan sesuatu yang telah Allah halalkan dan tidak pula menghalalkan apa yang telah Allah haramkan, tidak seorang khalifah, raja, presiden atau menteri.
Bahkan semua umat ini tidak berhak akan yang demikian, apakah itu berdasarkan kesepakatan atau dengan perhitungan suara terbanyak. Yang wajib bagi mereka semua adalah tunduk kepada hukum Allah, dengar kata dan taat. Simaklah firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut,
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ * مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih.” (An-Nahl: 116-117)
Dan simak juga firman-Nya,
قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آَللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ
“Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah:” Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus:59)
Maka ketahuilah bahwa setiap orang yang mengupayakan diharamkannya poligami atau dilarang atau mengikatnya dengan syarat-syarat yang tidak ada landasannya di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah Sungguh dia telah membuat kedustaan atas nama Allah. Dan ketahuilah bahwa setiap orang akan menghisab dirinya masing-masing, hendaklah seseorang melihat kembali dimana dia akan dibangkitkan dan dimana dia akan ditempatkan. Sungguh tunai sudah kewajibanku, alhamdulillah. (Selesai).
Sumber Bacaan:
Fikih Ta’addud Az-Zaujaat Asy-Syaikh Mushtafa Al Adawi Al Mishri
(dicopy dari http://ahlussunnah-jakarta.org/detail.php?no=161)
posted from : http://ulamasunnah.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar