Di antara keistimewaan agama kita adalah perhatiannya kepada moral dan akhlak yang mulia. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Ahmad).
Ketika Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam diutus, beliau mengakui dan menetapkan akhlak mulia dan budi pekerti yang ada pada masyarakat Jahiliyyah. Sebaliknya, beliau berupaya menghapus semua akhlak dan prilaku rendahan mereka, dan meluruskan apa yang perlu diluruskan.
Di antara akhlak mulia yang dipegang teguh oleh masyarakat Jahiliyah adalah “kecemburuan”. Seorang lelaki sangat cemburu terhadap kaum wanita mahram mereka. Bahkan ada sebagian dari mereka yang kecemburuannya berlebihan, hingga tega mengubur putrinya hidup-hidup, karena khawatir kalau sudah dewasa akan berbuat sesuatu yang memalukan. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan perbuatan tersebut dan melestarikan rasa cemburu (ghairah) dengan menjadikannya sebagai bagian dari cabang iman. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya, “Tiada sesuatu apapun yang lebih cemburu dibanding Allah.” (HR. Ahmad dan Al-Bukhari).
“Sesungguhnya Allah cemburu dan orang beriman pun cemburu. Allah akan cemburu apabila seseorang melakukan apa yang Dia haramkan.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Pernah suatu saat, ketika terjadi gerhana matahari, Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda di dalam khutbahnya, “Wahai umat Muhammad, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu dibanding Allah.” (Muttafaq ‘alaih)
Suatu ketika, Sa‘ad bin Ubadah berkata, “Seandainya aku menemukan seorang laki-laki bersama istriku tentu aku tebas ia dengan pedang, bukan dengan lempengnya tetapi dengan mata pedangnya”. Maka Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, “Apakah kalian merasa heran dengan kecemburuan Sa‘ad? Sesungguh-nya aku lebih cemburu dibanding dia, dan Allah lebih cemburu dibanding aku.” (Muttafaq ‘alaih)
Para shahabat nabi benar-benar berpegang teguh kepada sikap (rasa) kecemburuan ini, karena cemburu (ghairah) mempunyai kedudukan yang sama dengan kewajiban dan cabang-cabang iman lainnya. Maka tidak aneh apabila ada salah seorang di antara mereka yang membunuh atau dibunuh karena kecemburuan yang ia pelihara.
Ibnu Hisyam meriwayatkan, bahwa ada seorang wanita Arab membawa barang dagangannya untuk dijual di Pasar Bani Qainuqa‘ (salah satu suku Yahudi Madinah). Ia duduk berdekatan dengan tukang perhiasan emas dan perak. Lalu sekelompok orang Yahudi datang dan bermaksud akan menyingkap wajahnya, namun wanita itu menolak keras. Kemudian, secara diam-diam si tukang perhiasan tadi mengikatkan ujung pakai wanita itu kepunggungnya, sehingga ketika si wanita itu berdiri auratnya tersingkap dan ia pun berteriak. Mendengar jeritan itu, seorang lelaki muslim melompat menyerang dan menindih lalu menghabisi nyawa tukang perhiasan jahat tadi. Akibatnya, sekelompok orang Yahudi menge-royok lelaki muslim itu hingga tewas. Mendengar peristiwa itu, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam langsung berangkat bersama sejumlah pasukannya dan mengepung Bani Qainuqa‘, sehingga akhirnya mereka menyerah dan Nabi mengusir mereka ke Negeri Syam.
Para ulama terdahulu (salaf) dan kaum muslimin menjunjung tinggi sikap mulia ini (cemburu), mereka tidak pernah menganggapnya remeh meskipun di dalam masa-masa tertindas. Ketika kaum salibis Nasrani menjajah sebagian negeri mereka selama hampir dua abad lamanya, suatu rentan waktu yang cukup panjang dan kondisi kaum muslimin telah dianggap rapuh serta lemah, sedang-kan kaum salibis kuat dan akan tetap tinggal di negeri jajahan itu sampai turunnya Isa al-Masih. Namun kenyataannya, kaum muslimin tetap tegar memegang teguh sikap (rasa) kecemburuan. Sementara itu, kaum Nasrani salibis sama sekali tidak mempunyai rasa cemburu (dayyuts). Seorang di antara mereka berjalan-jalan bersama istrinya, lalu di tengah jalan sang istri berjumpa dengan teman lelakinya, maka sang suami menyingkir untuk memberi kesempatan kepada istrinya bersukaria dengan lelaki tadi. Semoga Allah melindungi kita.
Sungguh sangat memprihatinkan, di negara kita yang berpenduduk mayoritas muslim ini sudah terlalu jauh meninggalkan rasa cemburu. Pergaulan bebas dan berbaur antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram sudah menjadi tradisi, bahkan banyak orang tua yang membiarkan putrinya keluar malam bersama lelaki (pacarnya) hingga larut malam. Dan yang lebih parah lagi adalah adanya sebahagian orang tua yang membiarkan putrinya hamil di luar nikah tanpa ada rasa malu sedikitpun, apa lagi mau cemburu! Malah bangga, karena putrinya sudah mempunyai pacar, dengan alasan gaul.
Padahal Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda, yang artinya: “Ingatlah! Tiada seorang lelaki yang berdua-duaan dengan seorang wanita melainkan setanlah yang menjadi pihak ke tiganya.” (Riwayat Ahmad dan at Tirmidzi)
Sebagian lagi ada yang acuh tak acuh, bahkan bangga kalau putrinya berpakaian setengah badan lagi span, hingga tampak seksi dan menggiurkan lawan jenisnya. Na‘udzubillah. Sungguh betapa makin jauh umat ini dari akhlak yang mulia dan dari tuntunan agamanya, termasuk diantaranya rasa cemburu.
Termasuk bentuk terkikisnya rasa cemburu adalah seorang laki-laki membiarkan istri atau wanita yang menjadi tanggung jawabnya ke luar rumah dengan membuka pakaian hijab/jilbab, menampakkan sebagian auratnya atau menampakkan bentuk tubuh dan warna kulitnya. Termasuk juga membawa istrinya ke tempat-tempat umum yang terjadi ikhtilat di sana seperti pesta-pesta, sehingga istrinya menjadi sorotan dan sasaran pandangan kaum pria, juga membiar-kan mereka melakukan safar (perjalanan jauh) tanpa disertai mahram. Rasulullah n bersabda,
Artinya, ”Jangan sekali-kali seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita, melainkan dia beserta mahramnya dan janganlah seorang wanita itu melakukan safar, kecuali bersama mahramnya.” Maka seorang laki-laki berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah sesungguh-nya istriku pergi haji, sedangkan aku sendiri telah diwajibkan ikut di dalam peperangan ini dan ini,” maka beliau bersabda,
Artinya, “Pergilah berangkat haji bersama istrimu.” (HR al Bukhari-Muslim)
Gambaran-gambaran di atas merupakan ilustrasi riil dari kondisi yang ada di beberapa Negara Islam atau yang mayoritas penduduknya muslim.
Kedudukan Rasa Malu
Malu adalah cabang dari cabang-cabang iman sebagaimana hal itu diriwayatkan di dalam sebuah hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam Maka barang siapa sedikit rasa malunya berkuranglah keimanannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda,
Artinya, ”Rasa malu itu tidak datang melainkan dengan membawa kebaikan.”
Dan di dalam satu riwayat Muslim:
Artinya,”Rasa malu itu baik semuanya,” atau beliau bersabda, “Semuanya adalah baik”
Berkata Salman al Farisi, “Sesung-guhnya apabila Allah menghendaki kehancuran seorang hamba, maka Dia cabut rasa malu dari dirinya. Jika rasa malu telah tercabut darinya, maka ia tidak menemui Allah, melainkan di dalam keadaan terlaknat dan dimurkai”
Seorang penyair berkata,
“Maka demi Allah, tidak ada lagi kebaikan dalam kehidupan
Dan dalam dunia ini, …bila rasa malu telah pergi
Orang itu akan hidup dengan baik selagi memiliki rasa malu”
Sebagaimana ranting kayu akan lestari jika kulitnya masih abadi
Penyair lain berkata:
Sesungguhnya aku melihat
Bahwa orang yang tidak memiliki rasa malu
Dan tidak pula (memiliki) amanah
Ibarat orang telanjang ditengah-tengah manusia
Sebab-Sebab Rendahnya Rasa Malu
Rendahnya rasa malu (terutama pada wanita) disebabkan oleh banyak faktor, antara lain:
- Tidak adanya pendidikan secara serius semenjak kecil, karena orang yang terbiasa dengan sesuatu, pada masa mudanya akan terbawa terus hingga masa tuanya.
Sesungguhnya ranting-ranting itu akan tegak lurus
Manakala engkau meluruskannya (dimasa tumbuh)
Namun ia tidak bisa diluruskan
Ketika sudah menjadi kayu
- Seringnya wanita bergaul dan berbincang-bincang dengan laki-laki ajnabi (yang bukan mahramnya).
- Seringnya bergaul dengan orang- orang yang sedikit rasa malunya atau seringnya melihat mereka. Hal ini bisa melalui acara melancong ke luar negeri, bertemu di pasar, pusat-pusat perbelanjaan atau tempat wisata, juga melalui media tontonan.
- Termasuk faktor yang terpenting juga adalah dan seringnya wanita ke luar rumah. Allah berfirman,
Artinya, ”Dan berdiamlah kamu (istri-istri Nabi) di rumah-rumah kamu.”
Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam juga bersabda,
Artinya, ”Wanita itu adalah aurat.Sesungguhnya apabila ia keluar maka setan membuntutinya dan sesungguhnya dia tidak lebih dekat kepada Allah dibanding (ketika) ia berada di tengah-tengah rumahnya.”
Juga sabdanya yang lain,
Artinya, ”Janganlah kamu melarang istri-istrimu (mendatangi) masjid, sedang rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Al Hafizh ad Dimyati berkata, “Ibnu Khuzaimah dan para ulama menyatakan bahwa shalat wanita di rumahnya lebih baik dibanding shalatnya di masjid, meskipun masjid, al-Haram Makah, masjid Nabawi Madinah atau masjid al Aqsha.
Marilah kita berusaha membuktikan persaksian kita bahwa Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam adalah Rasulullah dengan cara mempercayai apa yang beliau kabarkan, menaati yang beliau perintahkan dan menjauhi semua yang beliau larang. Jangan sampai kita menyalahi perintahnya karena mengikuti hawa nafsu atau karena pengaruh seseorang atau karena sebab-sebab lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
Artinya, ”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.” (an Nur 63).
Sumber: Nasyrah Darul Wathan Riyadh “al ghairah wal haya’ terjemah Agus Hasan Bashori.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar